Entah berapa juta-juta kali kata-kata cemoohan dan cibiran itu keluar dari mulut setiap orang yang mengetahui keadaanya. Bahkan yang paling ekstrim ada yang sampai mengutuk dan memvonisnya sebagai penghuni neraka. Mereka tak sadar siapa mereka. Mereka manusia, bukanlah Tuhan. Sama seperti dia. Tapi inilah kelemahan manusia, selalu merasa diri menjadi paling baik dan paling suci dibanding manusia lainya. Bahkan yang mengutuk bukan hanya dari kalangan yang main-main. Yang paling mengerikan adalah kemarin, ketika acara pengajian rutin ibu-ibu setiap hari selasa. Sang penceramah membawa tema tentang kaum Nabi Luth. Tak ayal, semua mata tertuju padanya. Sakit, jelas terasa di hati. Tetapi dia mencoba bersabar. Ini adalah ujian dari Tuhan. Ujian seberapa kuat kah dia dalam perjuangan ini. seberapa layak kah dia menjadi yang sekarang ini. Dan dalam ujian itu, dia berharap Tuhan meluluskanya.
Dia bernama Anisa Septiani. Sebelum operasi lima belas tahun yang lalu, dia bernama Yayan Septiana. Ketika menjadi Yayan, Anisa selalu merasa dirinya dalah wanita. Tak ayal tingkah lakunya pun seperti wanita. Walaupun dari kecil sampai tamat SMA Anisa masih memakai pakaian lelaki, dan rambut dipotong seperti lelaki. Tapi karena kemayu dan tingkah laku seperti perempuan, maka Anisa sering diolok-olok dengan sebutan benc*ng. Sakit, tentu saja. Marah, inginya seperti itu. Tapi Anisa selalu diam memendam rasa sakitnya. Keadaan di dalam keluarganya pun tak jauh berbeda. Kalaupun ada yang mengerti dirinya, itu hanyalah sang Ibu. Dia yang membuat Anisa terus bertahan. Beberapa kali Anisa kedapatan akan bunuh diri. Karena dia merasa tekanan yang luar bisa di luar dan di dalam dirinya sendiri. Tapi untunglah dia masih selamat. Dan itu karena Ibunya. Lain Ibu lain Ayah. Seperti keinginan setiap Ayah terhadap anak laki-lakinya. Ayah Anisa menginginkan anaknya macho, jagoan, pandai main bola. Bahkan Ayahnya Anisa saking geram melihat tingkah laku anaknya, pernah dengan sengaja mengadu Anisa dengan anak tetangganya. Jelas Anisa kalah.
Berbagai cara sang Ayah lakukan untuk bisa merubah Anisa semuanya gugur tanpa hasil. Diikutkan pelatihan bola malah kabur memilih bermain bola bekel bersama anak-anak perempuan di kampung itu. Disuruh ikut mencari rumput buat kambing, malah kabur sembunyi di dapur sambil menghafal resep masakan sayur asem Ibunya yang menurutnya paling juara dan wajib dipelajari. Dibentak malah diam seperti orang kesambet. Dipukul, malah menangis. Serba salah. Hingga suatu saat setelah tamat SMA, dia membuat keputusan besar dalam hidupnya. Ketika semua berkumpul untuk makan malam, Anisa dengan penuh keyakinan dan percaya diri berkata pada semua orang yang ada di situ.
“Sebelumnya Yayan minta maaf pada Ibu, Ayah, De Dadan, De Siska dan De Farhan. Mungkin apa yang akan Yayan katakan pada kalian akan membuat kalian semua kecewa. Sangat kecewa. Yayan sudah besar saat ini, sudah lulus SMA. Yayan bukan lagi anak kecil. Yayan ingin menentukan kehidupan Yayan sendiri di masa depan. Jangan takut jika suatu saat nanti di akhirat Ibu dan Ayah dimintai pertanggung jawaban atas kelakuan Yayan. Yayan akan meminta pada Allah supaya semuanya dilimpahkan pada Yayan sendiri. Yayan sudah fikirkan resiko kedepan yang harus Yayan hadapi. Yayan berjanji gak akan menyusahkan kalian semua. Kalian hidup tenang dan rukun di sini seperti tak terjadi apa-apa. Sebenarnya berat buat Yayan harus mengatakan ini. Apalagi tanggapan Ayah nanti. Membayangkanya pun Yayan gak sanggup. Tapi ini harus. Yayan hendak ke kota. Yayan akan bekerja di sana.” Anisa menarik nafas panjang, kemudian menghembuskanya.
“Kamu mau kerja apa di kota? lulusan SMA hanya bisa jadi tukang sapu dan ngepel. Daripada jauh-jauh Cuma jadi tukang sapu, mending kamu ngurus kambing di sini. Kamu itu anak tertua, Yan. Harus bisa jadi contoh dan panutan! Adik kamu harus sekolah, bukan cuma kamu saja. Jangan jadi egois. Yang hanya mementingkan diri sendiri. Cukup kamu buat Ayah kecewa dengangan sikapmu!” sela Ayahnya.
Anisa menerawang jauh. Menimbang-nimbang lagi apakah dia siap dengan tanggapan keluarganya nanti. Anisa pun memantapkan diri.
“Yayan tidak akan lari dari tanggung jawab. Yayan akan kirim uang untuk keluarga di sini. Yayan tidak bisa pastikan jumlahnya. Tapi Yayan akan pastikan itu rutin tiap bulan. Tolong Ayah mengerti keputusan Yayan. Yayan akan bekerja di.. di salon punya Teh Mei di Bogor!” Anisa menunduk. Takut menantap mereka. Terlebih Ayahnya.
“Astagfirullah Yan. Eling, inget Allah. Kamu mau bikin Ayah kecewa lagi? Cukup dengan tingkah kamu yang seperti perempuan, jangan ditambah aktifitas yang memperparah. Kamu tahu, si Mei itu laki-laki. B*nci. Tidak bisa menerima kodrat diri. Sesukses suksesnya dia, apa dia bisa menikmatinya. Dia sekarang sendiri, Ibunya mati pun dia gak ada di sampingnya. Insyaf Yan… Insyaf! Astagfirullah… salah apa ya Allah, kok punya anak seperti ini…” Sang Ayah mengelus dada. Ingin rasanya menggebrak meja atau melempar apa saja pada Anisa yang ada di seberang meja. Boro-boro menggebrak atau melempar, berdiri saja rasanya gak kuat. Terlalu syok.
“Ayah, terkadang sesuatu yang terlihat hina belum tentu hina. Kita bukan Allah yang bisa melihat semua sisi. Keputusan Yayan sudah bulat, Yayan akan pergi ke kota, lusa. Dijinkan atau tidak, Yayan akan tetap pergi!”. Hening.
“Baik, jika kamu mau pergi ke kota, pergi sana. Jangan nunggu lusa, sekarang juga itu lebih baik. Aku muak melihat muka kamu. Dasar anak durhaka. Bergaul dengan siapa saja yang kamu mau, jadi apa saja yang kamu mau. Memang, kamu itu banci, dan sampai kapan pun akan tetap banci. Jangan pernah pulang jika aku masih hidup. Uhuk… uhuk… pergi!” Sang Ayah berteriak lantang. Membuat suasana hening lagi.
“Sabar Yah… Sabar!” Sang Ibu berusaha menenagkan. Kemudian Anisa pergi ke kamarnya, membereskan semua barang-barangnya. Tak lama kemudian dia keluar bermaksud berpamitan.
“Jangan sentuh salah satu pun orang yang ada di sini. Kamu terlalu najis buat kami!” Anisa pergi meninggalkan rumah dalam tangisan.
“Sebelumnya Yayan minta maaf pada Ibu, Ayah, De Dadan, De Siska dan De Farhan. Mungkin apa yang akan Yayan katakan pada kalian akan membuat kalian semua kecewa. Sangat kecewa. Yayan sudah besar saat ini, sudah lulus SMA. Yayan bukan lagi anak kecil. Yayan ingin menentukan kehidupan Yayan sendiri di masa depan. Jangan takut jika suatu saat nanti di akhirat Ibu dan Ayah dimintai pertanggung jawaban atas kelakuan Yayan. Yayan akan meminta pada Allah supaya semuanya dilimpahkan pada Yayan sendiri. Yayan sudah fikirkan resiko kedepan yang harus Yayan hadapi. Yayan berjanji gak akan menyusahkan kalian semua. Kalian hidup tenang dan rukun di sini seperti tak terjadi apa-apa. Sebenarnya berat buat Yayan harus mengatakan ini. Apalagi tanggapan Ayah nanti. Membayangkanya pun Yayan gak sanggup. Tapi ini harus. Yayan hendak ke kota. Yayan akan bekerja di sana.” Anisa menarik nafas panjang, kemudian menghembuskanya.
“Kamu mau kerja apa di kota? lulusan SMA hanya bisa jadi tukang sapu dan ngepel. Daripada jauh-jauh Cuma jadi tukang sapu, mending kamu ngurus kambing di sini. Kamu itu anak tertua, Yan. Harus bisa jadi contoh dan panutan! Adik kamu harus sekolah, bukan cuma kamu saja. Jangan jadi egois. Yang hanya mementingkan diri sendiri. Cukup kamu buat Ayah kecewa dengangan sikapmu!” sela Ayahnya.
Anisa menerawang jauh. Menimbang-nimbang lagi apakah dia siap dengan tanggapan keluarganya nanti. Anisa pun memantapkan diri.
“Yayan tidak akan lari dari tanggung jawab. Yayan akan kirim uang untuk keluarga di sini. Yayan tidak bisa pastikan jumlahnya. Tapi Yayan akan pastikan itu rutin tiap bulan. Tolong Ayah mengerti keputusan Yayan. Yayan akan bekerja di.. di salon punya Teh Mei di Bogor!” Anisa menunduk. Takut menantap mereka. Terlebih Ayahnya.
“Astagfirullah Yan. Eling, inget Allah. Kamu mau bikin Ayah kecewa lagi? Cukup dengan tingkah kamu yang seperti perempuan, jangan ditambah aktifitas yang memperparah. Kamu tahu, si Mei itu laki-laki. B*nci. Tidak bisa menerima kodrat diri. Sesukses suksesnya dia, apa dia bisa menikmatinya. Dia sekarang sendiri, Ibunya mati pun dia gak ada di sampingnya. Insyaf Yan… Insyaf! Astagfirullah… salah apa ya Allah, kok punya anak seperti ini…” Sang Ayah mengelus dada. Ingin rasanya menggebrak meja atau melempar apa saja pada Anisa yang ada di seberang meja. Boro-boro menggebrak atau melempar, berdiri saja rasanya gak kuat. Terlalu syok.
“Ayah, terkadang sesuatu yang terlihat hina belum tentu hina. Kita bukan Allah yang bisa melihat semua sisi. Keputusan Yayan sudah bulat, Yayan akan pergi ke kota, lusa. Dijinkan atau tidak, Yayan akan tetap pergi!”. Hening.
“Baik, jika kamu mau pergi ke kota, pergi sana. Jangan nunggu lusa, sekarang juga itu lebih baik. Aku muak melihat muka kamu. Dasar anak durhaka. Bergaul dengan siapa saja yang kamu mau, jadi apa saja yang kamu mau. Memang, kamu itu banci, dan sampai kapan pun akan tetap banci. Jangan pernah pulang jika aku masih hidup. Uhuk… uhuk… pergi!” Sang Ayah berteriak lantang. Membuat suasana hening lagi.
“Sabar Yah… Sabar!” Sang Ibu berusaha menenagkan. Kemudian Anisa pergi ke kamarnya, membereskan semua barang-barangnya. Tak lama kemudian dia keluar bermaksud berpamitan.
“Jangan sentuh salah satu pun orang yang ada di sini. Kamu terlalu najis buat kami!” Anisa pergi meninggalkan rumah dalam tangisan.
Ini adalah tahun ke dua dia bekerja di salon, tapi tidak lagi bersama Mei. Dia pindah setengah tahun lalu kesini, Keraton Salon mereka menjulukinya. Tidak sembarangan orang yang bisa bekerja di sini karena memang pelanggannya pun bukan orang sembarangan. Dari mulai kaum sosialita, artis sampai para istri pejabat sering singgah ke sini. Masalah penghasilan, jangan ditanya, jelas besar. Anisa adalah satu-satunya laki-laki yang bekerja disini. Sang pemilik salon menemukan Anisa ketika di Mall. Waktu itu mereka sama-sama sedang mengunjungi pameran alat-alat kecantikan asal Paris. Hanya butuh waktu sebulan untuk Anisa bisa masuk ke Keraton Salon.
Hidup menjadi setengah pria setengah wanita tidaklah mudah. Cibiran selalu mampir di telinganya tanpa pernah absen. Pandangan orang yang menyebut dirinya g*y membuat hatinya begitu sakit. Pernah suatu ketika ada seorang Om om pengusaha menghampirinya, menyatakan cinta padanya.
Dengan tegas Anisa berucap “Saya tidak seperti apa yang Om lihat. Munghin semua orang akan sependapat mengatakan saya G*y dengan kondisi seperti ini. tapi sungguh Saya bukan G*y. Jika Om memang mencintai Saya, Om akan mengerti. Dan tunggulah sampai saya bisa menjadi wanita seutuhnya!”
Memang kini setelah penghasilanya tinggi, Anisa berniat operasi kel*min. Dia ingin menyempurnakan dirinya. Sempurna dalam dan luarnya sebagai wanita seutuhnya. Sang Om om tertawa terbahak. Dia geleng-geleng kepala. Seraya mengejek “Kamu itu laki-laki, sayang. Ganti kel*min pun kamu tetap laki-laki. Sudahlah terima cinta Om, apa bedanya sekarang ataupun nanti. Ujung-ujungnya kamu juga dit*duri!”
Dengan santai Anisa menjawab “Saya hanya ingin hubungan saya sah. Dengan pria manapun nantinya. Oh ya, kalau memang Om sudah tidak ada perlu lagi, Anisa mau pulang!” tanpa menungu persetujuan si Om, Anisa pergi.
Dengan tegas Anisa berucap “Saya tidak seperti apa yang Om lihat. Munghin semua orang akan sependapat mengatakan saya G*y dengan kondisi seperti ini. tapi sungguh Saya bukan G*y. Jika Om memang mencintai Saya, Om akan mengerti. Dan tunggulah sampai saya bisa menjadi wanita seutuhnya!”
Memang kini setelah penghasilanya tinggi, Anisa berniat operasi kel*min. Dia ingin menyempurnakan dirinya. Sempurna dalam dan luarnya sebagai wanita seutuhnya. Sang Om om tertawa terbahak. Dia geleng-geleng kepala. Seraya mengejek “Kamu itu laki-laki, sayang. Ganti kel*min pun kamu tetap laki-laki. Sudahlah terima cinta Om, apa bedanya sekarang ataupun nanti. Ujung-ujungnya kamu juga dit*duri!”
Dengan santai Anisa menjawab “Saya hanya ingin hubungan saya sah. Dengan pria manapun nantinya. Oh ya, kalau memang Om sudah tidak ada perlu lagi, Anisa mau pulang!” tanpa menungu persetujuan si Om, Anisa pergi.
Waktu terus bergulir, siang dan malam silih berganti dengan teraturnya. Tetapi tak ada yang berubah dari senja. Baik dulu maupun sekarang tetaplah sama. Mungkin sampai nanti pun akan sama. Kini menginjak tahun ke lima, Anisa telah mendapat posisi yang penting di Keraton Salon. Dia menjadi Manager di Keraton Salon cabang di daerah Lippo Karawachi. Di bawah kepemimpinanya, Keranton Salon cabang Lippo Karawachi berkembang pesat. Omzet perbulanya jauh melampaui target. Dan ini adalah bulan ke enam dari masa kepemimpinannya. Tahun ini akan menjadi tahun paling bersejarah dalam hidupnya. Tahun yang paling dinanti-nanti. Dia akan pergi ke Bangkok untuk melakukan operasi kel*min dan sedikit mengubah bentuk tubuhnya. Sekedar info, tanpa dipermak pun dia sudah terlihat cantik. Apalagi dioperasi.
Daun-daun terus berguguran, tunas baru pun bermunculan. Mengganti warna kuning kecoklatan dengan warna hijau muda. Bunga-bunga di taman bermekaran. Ulat yang kemarin masih kepompong kini telah berubah anggun menjadi kupu-kupu. Menari-nari lincah di antara bunga-bunga. Kini hari H keberangkatanya ke Bangkok semakin dekat. Tinggal tujuh hari lagi. Sebelum operasi, ia berniat mengunjungi keluarganya yang telah lama ia tinggalkan. Meminta restu kepada kedua orangtuanya. Sebenarnya ia takut, tapi rindu mengalahkanya. “Lagipula mungkin Ayah telah memaafkanku. Bukankah Singapun tidak akan memakan anaknya?” batinnya berusaha memotivasi diri. Dan akhirnya dia pun berangkat menuju kampung tercinta. Dia bersyukur pernah hidup disana. Walaupun seringnya dulu ia dicaci. Paling tidak, melalui cacian itu dia mengetahui siapa jati dirinya itu.
Tok… Tok… “Assalamualaikum!!!” Anisa mengucap salam.
“Waalaikumsalam!!!” seorang remaja yang seumuran anak SMA membukakan pintu.
“Dadan? Ini Dadan?” Anisa pangling melihat adik laki-lakinya itu. Dadan tumbuh menjadi remaja tampan. Gestur tubuhnya pun tak seperti dirinya. Jelas lah, Dadan laki-laki. Sementara ia, sebentar lagi akan menjadi wanita.
“Ia, Saya Dadan. Maaf, kalau boleh tahu Mba siapa ya? Ada perlu apa?” dalam keheranannya Dadan bertanya. Dia memperhatikan dari ujung kepala sampai ujung kaki orang yang ada di depanya. Dadan mengerenyitkan keningnya. Sekilas dadan melihat tahi lalat di hidung sebelah kiri orang yang mengetuk pintu, membuatmya teringat akan sosok seseorang. Tapi Dadan enggan menyimpulkan.
“Ini Yayan Dan, kamu sudah besar ya! Tinggi, macho, cakep. Pasti banyak ceweknya!” Anisa menggoda adiknya.
“A Ya… Ya… Yan! Bener ini A Yayan?” dia sanksi. Setahu dia, terakhir kali Kakaknya pergi masih dalam keadaan laki-laki. Tapi kok… apakah kota menyihirnya menjadi seperti ini? ah, Dadan pusing, dia menghambur memeluk Kakaknya.
“Ini memang A Yayan Dan!” Anisa berbicara.
“Dadan kangen, A Yayan kemana aja! Sekarang A Yayan cantik. Rambutnya panjang!” Dadan tertawa.
“Btw, gak dipersilahkan masuk nih?”
“Oh, lupa. Silahkan masuk A. Lagian kalau mau masuk, ya masuk aja. Ini kan rumah Aa juga.”
Anisa mengusap bulir bening di pelupuk matanya. Bulir yang tercipta dari perasan rasa rindu.
“Waalaikumsalam!!!” seorang remaja yang seumuran anak SMA membukakan pintu.
“Dadan? Ini Dadan?” Anisa pangling melihat adik laki-lakinya itu. Dadan tumbuh menjadi remaja tampan. Gestur tubuhnya pun tak seperti dirinya. Jelas lah, Dadan laki-laki. Sementara ia, sebentar lagi akan menjadi wanita.
“Ia, Saya Dadan. Maaf, kalau boleh tahu Mba siapa ya? Ada perlu apa?” dalam keheranannya Dadan bertanya. Dia memperhatikan dari ujung kepala sampai ujung kaki orang yang ada di depanya. Dadan mengerenyitkan keningnya. Sekilas dadan melihat tahi lalat di hidung sebelah kiri orang yang mengetuk pintu, membuatmya teringat akan sosok seseorang. Tapi Dadan enggan menyimpulkan.
“Ini Yayan Dan, kamu sudah besar ya! Tinggi, macho, cakep. Pasti banyak ceweknya!” Anisa menggoda adiknya.
“A Ya… Ya… Yan! Bener ini A Yayan?” dia sanksi. Setahu dia, terakhir kali Kakaknya pergi masih dalam keadaan laki-laki. Tapi kok… apakah kota menyihirnya menjadi seperti ini? ah, Dadan pusing, dia menghambur memeluk Kakaknya.
“Ini memang A Yayan Dan!” Anisa berbicara.
“Dadan kangen, A Yayan kemana aja! Sekarang A Yayan cantik. Rambutnya panjang!” Dadan tertawa.
“Btw, gak dipersilahkan masuk nih?”
“Oh, lupa. Silahkan masuk A. Lagian kalau mau masuk, ya masuk aja. Ini kan rumah Aa juga.”
Anisa mengusap bulir bening di pelupuk matanya. Bulir yang tercipta dari perasan rasa rindu.
“Dan, ngomong-ngomong penghuni rumah pada kemana? Sepi banget!” Anisa celingak celinguk.
“Oh, ya. Aa kesini hendak minta restu sama Ayah dan Ibu. Aa mau operasi kel*min. Aa tahu, kamu pasti kaget. Aa juga gak ngelarang kamu untuk benci sama Aa. Tapi asal kamu tahu, Aa akan selalu sayang sama kalian. Hampir lupa, perkenalkan nama baru Aa. Anisa Septiani. Kamu bisa panggi Teteh atau panggil nama juga aku gak keberatan!” terlihat Anisa berusaha tegar.
“Oh, ya. Aa kesini hendak minta restu sama Ayah dan Ibu. Aa mau operasi kel*min. Aa tahu, kamu pasti kaget. Aa juga gak ngelarang kamu untuk benci sama Aa. Tapi asal kamu tahu, Aa akan selalu sayang sama kalian. Hampir lupa, perkenalkan nama baru Aa. Anisa Septiani. Kamu bisa panggi Teteh atau panggil nama juga aku gak keberatan!” terlihat Anisa berusaha tegar.
Dadan menunduk, dia bingung harus berkata apa. Harus memulai dari mana. Setelah kepergian kakaknya, kehidupan keluarganya runyam. Ibu meninggal dua tahun setelah kepergian kakaknya. Ayahnya menyusul setahun kemudian. Kini Dadan lah tulang punggung keluarga. Dia yang menghidupi adik-adiknya.
“T… Teh, ikut aku ke suatu tempat yuk!” Dadan masih canggung memanggil kakaknya dengan sebutan Teteh. Walau bagaimana pun kakaknya kan masih laki-laki.
“Kemana?”
“Teteh ingin tahu Ayah sama Ibu di mana kan? Makanya ayo ikut!” Dadan berdiri. Menarik tangan kakaknya. Anisa bingung, tapi dia membiarkan dirinya dituntun sang adik. Berbagai pertanyaan bermunculan di kepalanya. Tapi tak ada satu pun yang ia keluarkan. Ia lebih menunggu misteri terungkap sendiri. Setidaknya ada waktu untuk mempersiapkan mental kalau-kalau sesuatu yang tidak ia harapkan terjadi.
“T… Teh, ikut aku ke suatu tempat yuk!” Dadan masih canggung memanggil kakaknya dengan sebutan Teteh. Walau bagaimana pun kakaknya kan masih laki-laki.
“Kemana?”
“Teteh ingin tahu Ayah sama Ibu di mana kan? Makanya ayo ikut!” Dadan berdiri. Menarik tangan kakaknya. Anisa bingung, tapi dia membiarkan dirinya dituntun sang adik. Berbagai pertanyaan bermunculan di kepalanya. Tapi tak ada satu pun yang ia keluarkan. Ia lebih menunggu misteri terungkap sendiri. Setidaknya ada waktu untuk mempersiapkan mental kalau-kalau sesuatu yang tidak ia harapkan terjadi.
Anisa bingung ketika dia sadar kemana ia dibawa. Pemakaman. Apa maksudnya. Mereka berhenti di sebuah batu nisan. Lilis Suryani Binti Karma. Lalu dia melihat ke nisan di samping nisan yang tadi, Ilyas Abdullah bin Sumarna. Lututnya lemas. Anisa ambruk. Lidahnya kelu. Cukup air mata yang mewakili perasaanya kini.
“Ibu meninggal karena Demam Berdarah tiga tahun lalu. Sementara Ayah meninggal karena serangan jantung setahun setelah kepergian Ibu!” Dadan mencoba menceritakan apa yang selama ini terjadi.
“Kenapa tak ada yang memberi tahuku, kalian menganggap apa aku ini. Aku tahu aku salah. Tapi… kalian semua tega!” Anisa menangis semakin menjadi.
“Bukan kami ingin menyembunyikan, tapi Teteh tahu sendiri bagaimana kerasnya Ayah!”
“Aku sudah menjadi anak durhaka. Mereka pergi tanpa memberi kesempatan buatku untuk meminta maaf!”
“Tidak, mereka pergi dalam ketenangan. Sebelum Ayah meninggal, Ayah berpesan. Beliau minta maaf karena selama ini terlalu keras mendidik Teteh. Ayah juga bilang, kini Ayah sudah menerima jadi apapun Teteh nantinya. Makanya tadi pas Teteh bilang mau operasi kel*min aku tidak kaget. Karena aku, Ayah, Ibu dan adik-adik telah siap dengan kemungkinan itu. Jika toh Teteh mau operasi, operasilah!” Ada rasa haru dalam diri Anisa. Terlebih ketika mendengar wasiat dari Ayahnya.
“Ibu meninggal karena Demam Berdarah tiga tahun lalu. Sementara Ayah meninggal karena serangan jantung setahun setelah kepergian Ibu!” Dadan mencoba menceritakan apa yang selama ini terjadi.
“Kenapa tak ada yang memberi tahuku, kalian menganggap apa aku ini. Aku tahu aku salah. Tapi… kalian semua tega!” Anisa menangis semakin menjadi.
“Bukan kami ingin menyembunyikan, tapi Teteh tahu sendiri bagaimana kerasnya Ayah!”
“Aku sudah menjadi anak durhaka. Mereka pergi tanpa memberi kesempatan buatku untuk meminta maaf!”
“Tidak, mereka pergi dalam ketenangan. Sebelum Ayah meninggal, Ayah berpesan. Beliau minta maaf karena selama ini terlalu keras mendidik Teteh. Ayah juga bilang, kini Ayah sudah menerima jadi apapun Teteh nantinya. Makanya tadi pas Teteh bilang mau operasi kel*min aku tidak kaget. Karena aku, Ayah, Ibu dan adik-adik telah siap dengan kemungkinan itu. Jika toh Teteh mau operasi, operasilah!” Ada rasa haru dalam diri Anisa. Terlebih ketika mendengar wasiat dari Ayahnya.
Akhirnya setelah hari menua, mereka pun pulang. Di rumah mereka disambut oleh adik-adiknya.
“A Dadan, itu pacarnya ya?” Siska yang tak tahu siapa wanita di samping kakaknya akhirnya bertanya. Dengan senyuman, Dadan menjawab “Kenalin, ini Teh Anisa, kakak kita!” Farhan mengerutkan kening “Sejak kapan kita punya kakak cewek?” Tanya Farhan. “Calon Kakak ipar mungkin maksudnya!” sela Siska. “Bukan, ini kakak kandung kita. Dulu dia bernama A Yayan Septiana!” Siska dan Farhan saling bertatapan. Mereka tak mengerti apa maksudnya. “Gini lo adik-adiku, A Yayan kini sudah menjadi wanita!” Anisa menjelaskan. Tapi Farhan dan Siska belum mengerti juga. Akhirnya, Anisa menceritakan kehidupanya selama lima tahun ini dan niatnya untuk pergi ke Bangkok. Dan ketiga adiknya pun setuju. Sebelum ke Bangkok, Anisa membawa adik-adiknya ke Karawachi. Mereka dititipkan pada teman Anisa untuk diurus masalah sekolah dan kehidupan mereka selama Anisa ke Bangkok.
“A Dadan, itu pacarnya ya?” Siska yang tak tahu siapa wanita di samping kakaknya akhirnya bertanya. Dengan senyuman, Dadan menjawab “Kenalin, ini Teh Anisa, kakak kita!” Farhan mengerutkan kening “Sejak kapan kita punya kakak cewek?” Tanya Farhan. “Calon Kakak ipar mungkin maksudnya!” sela Siska. “Bukan, ini kakak kandung kita. Dulu dia bernama A Yayan Septiana!” Siska dan Farhan saling bertatapan. Mereka tak mengerti apa maksudnya. “Gini lo adik-adiku, A Yayan kini sudah menjadi wanita!” Anisa menjelaskan. Tapi Farhan dan Siska belum mengerti juga. Akhirnya, Anisa menceritakan kehidupanya selama lima tahun ini dan niatnya untuk pergi ke Bangkok. Dan ketiga adiknya pun setuju. Sebelum ke Bangkok, Anisa membawa adik-adiknya ke Karawachi. Mereka dititipkan pada teman Anisa untuk diurus masalah sekolah dan kehidupan mereka selama Anisa ke Bangkok.
Inilah Bangkok, Ibu Kota Negara yang berjuluk Gajah Putih itu. Thailand bukan hanya terkenal sebagai negara dengan tempat wisata pantai yang indah. Di balik kemegahan pagoda pagoda yang bertemabar. Ada sisi lain yang tak bisa dipungkiri dan disangkal dari Thailand. Yakni para Lady Boy nya. Ya, Thailand surganya G*y di Asia Tenggara. Itu menurut pendapat pribadi sih. Hehehe. Ada satu hal yang unik di sini. Kalian akan sangat sulit membedakan mana laki-laki yang menjadi perempuan dan perempuan asli. Jika di Koerea selatan hal itu terjadi karena operasi plastik. Maka di Negara Thailand terjadi karena operasi kel*min. Banyak para turis yang sengaja kesini untuk melakukan operasi. Menurut survei, orang yang melakukan operasi selalu meningkat tiap tahunya. Salah satu Rumah Sakit yang paling terkenal dalam hal operasi kel*min adalah Rumah Sakit Yan Hee. Dan Rumah Sakit inilah yang menjadi tujuan utama Anisa datang kemari. Tentunya bukan tanpa alasan. Jauh sebelumnya, Anisa telah mengumpulkan banyak informasi mengenai operasi kel*min. Tentang biaya, tempat, keaamanan, dll. Dari mulai berselancar di Mbah Google, bertanya-tanya pada kawan, sampai konsultasi pada Tour Guide. Rencana, Anisa akan ke Bangkok untuk operasi kel*min plus istirahat pasca operasi selama satu bulan. Kemudian setelah itu ia akan ke Korea selatan untuk operasi plastik bagian-bagian tubuh yang memang perlu. Semua dia lakukan demi bisa menjadi Wanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar